“Bro, serius amat sih dari tadi,” tegur Herdi pada sahabatnya Jose.
“Ah, kamu ngagetin aja. Apa sih?” jawab Jose ketus. Dia hanya menatap Herdi sekilas dan kembali asyik dengan gawainya, tidak memperhatikan Herdi.
“Hmm … mulai deh kumat, kalau sudah gini, lupa sama temennya,” sungut Herdi yang telah duduk di sebelah Jose yang sengaja memilih duduk di sudut kantin. Tempat favorit Jose karena dari situ dia dapat mengamati sekitar.
“Pasti, lagi asyik main sama game virtual itu to?” tanya Herdi yang sedari tadi kedatangannya tidak digubris Jose.
“Iya, bentar ya, nanggung nih,” celetuk Jose sekenanya.
Herdi pun membiarkan Jose kembali tenggelam dalam permainannya dan menikmati segelas cappucino yang ada di hadapannya.
Entah bagaimana awal mulanya Jose asyik bermain dengan game barunya. Sebuah game aplikasi kencan. Sekilas diliriknya game yang sedang dimainkan Jose.
“Cewek itu mirip Kiran, ya?” celetuk Herdi.
“He eh … cantik kan, Her?” jawab Jose yang tidak menyadari jika Herdi mengintip game yang sedang dimainkannya.
Bukannya menjawab, Herdi hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Jose. “Aku pergi aja deh, Jos, Kamu lagi asyik gitu sama pacar virtualmu,” sungut Herdi.
“Eh, sorry Bro, barusan ngehang nih game-nya. Aku peluk Cintya dulu,” jawab Jose.
“Hadeh, apa asyiknya sih game aneh gitu, mending meluk cewek beneran, deh,” sahut Herdi yang tidak paham kelakuan sahabatnya itu.
“Enggak ada yang mau Aku peluk sih, Bro,” jawab Jose sekenanya sambil nyengir kuda dan meletakkan gawainya.
“Ada aja asal Kamu mau lebih peka aja sama sekitar. Buruan nembak Kiran, daripada hanya terobsesi aja. Sebelum diambil cowok lain. Beraninya kok cuma virtual aja, pacaran sama Cintya yang enggak jelas gitu,” cerocos Herdi. Sudah kesekian kalinya Herdi mengingatkan Jose yang semakin tenggelam dengan game aplikasi kencan tersebut.
Kantin yang terletak di bagian belakang sekolah, tempat mereka duduk saat ini hanya berisi beberapa orang. Sebagian besar siswa sudah pulang sekolah, hanya tersisa beberapa orang saja, termasuk Jose dan Herdi.
Sekelompok gadis melangkah masuk ke kantin, menghentikan pembicaraan mereka. Tampak seorang gadis tersenyum dengan manis ke arah mereka berdua. Herdi pun melambaikan tangan dan tersenyum membalasnya.
“Vina tuh! Balas senyum napa?” ujar Herdi pada Jose yang tidak memperhatikan sekelompok gadis tersebut. Jose hanya senyum sekenanya.
“Mending pacaran sama Vina aja. Bisa dilihat dan dipegang, nyata bukan imajinasi. Kamu enggak asik deh, Bro,” seloroh Herdi yang kemudian berjalan mendekati Vina dan meninggalkan Herdi sendirian dengan mie ayamnya yang telah dingin karena asyik bermain game aplikasi kencan.
Jose tidak menanggapi ucapan Herdi, dia hanya menghabiskan mie ayam yang ada di di mejanya sedari tadi.
Vina adalah anak kelas X, adik kelas mereka berdua. Sejak lama Herdi mendekatinya, tetapi dia belum berani menyatakan cintanya pada Vina. Sepertinya kali ini dia membulatkan tekad untuk meminang Vina, daripada seperti Jose yang punya pacar tapi enggak nyata.
Vina memisahkan diri dari teman-temannya dan berjalan bersama Herdi, sedangkan teman-teman Vina sepertinya pulang atau pergi entah kemana, yang pasti situasi kantin semakin lengang.
Hari semakin senja, situasi sekolah juga sudah sepi. Anak-anak yang biasa melakukan kegiatan ekstra atau kerja kelompok tampaknya juga sudah pulang. Ibu kantin membersihkan kantin dan bersiap untuk menutup kantinnya.
Pulang aja ah, sebelum diusir ibu kantin, pikir Jose. Dia berjalan menyusuri selasar dan berakhir di parkiran motor. Pandangannya berhenti pada sosok gadis manis berambut sebahu yang sedang duduk di bawah pohon beringin dekat pintu gerbang sekolah.
Seperti Kiran, batin Jose. Netranya beredar ke sekitar memastikan tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya dan Kiran. Hatinya berdebar cukup kencang, antara ingin mengajak ngobrol Kiran atau pura-pura tidak melihatnya.
Jose merasa seperti punguk merindukan bulan, secara Kiran primadona di sekolah. Banyak siswa di sekolahnya yang berusaha mendekatinya, tetapi belum ada yang berhasil, karena kabarnya Kiran sombong.
Padahal secara fisik Jose juga tidak buruk rupa, kok. Badannya atletis, maklumlah dia atlet petanque, olahraga yang berasal dari Perancis. Wajahnya juga manis.
“Sendirian aja Kiran, menunggu siapa?” sapa Jose pada gadis manis itu.
“Eh iya Kak Jose, tadi janjian sama Mama mau sekalian pergi, tapi enggak jadi,” jawab gadis itu kikuk dan menunduk.
Ini sih bukan sombong, kalau sombong, kan dia enggak mau jawab sapaku, pikir Jose. Dia pun sudah dapat mengendalikan hatinya yang dari tadi berdebar kencang.
“Boleh Aku antar pulang?” tanya Jose tanpa basa-basi.
“Apakah tidak merepotkan? Em … Tapi ini baru mau pesan ojek kok, enggak apa-apa, Kak. Aku bisa pulang sendiri, kok,” jawab Kiran.
“Aku siap mengantar putri cantik ke mana aja, tapi pakai motor ini, mau?” Jose mengulangi ajakannya lagi.
Kiran pun mengangguk malu-malu, pipinya bersemu merah. Tampak dengan jelas rona merah di pipinya yang putih itu.
Rasa hangat mengalir di dada Jose. Hatinya bersorak riang bisa bisa mengantar Kiran pulang. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Baginya yang terpenting saat ini dapat mengantar Kiran dan bisa berbincang dengannya selama perjalanan. Terlepas apakah nanti Kiran menerima cintanya atau tidak. Terlalu dini untuk menyatakan cinta pada Kiran saat ini.
Benar kata Herdi, rasa yang hadir beda jika aku berbicara dengan gadis yang nyata dibandingkan Cintya yang hanya virtual saja, batin Jose.
Menunggu part 2 hehehe
BalasHapusedisi lanjutannya belum kepikiran mbak, baru kepikiran cerita ini aja sih
HapusYa jelas enakan punya pacar di dunia nyata toh Jose, bisa curhat dll dari pada pacar virtual 😁 di tunggu kelanjutannya mbak
BalasHapusBaca cerita tentang anak SMA gini jadi berasa muda lagi. Penasaran sama kelanjutannya gimana. Apakah sebenarnya Cintya itu Kiran? Hhe.
BalasHapusWah aku senyum sendiri bacanya... Hehehehe.... Asik juga baca cerita ini, apakah akan ada lanjutan ceritanya kak?
BalasHapusIni cerita bersambung kayaknya ya Kak? Bikin penasaran soalnya lanjutannya, gimana dengan pacar virtualnya hehe..
BalasHapus