Sebuah post di Instagram dari seorang teman, mbak Aulia menarik perhatian saya. Pos itu berisi ajakan untuk menulis sebuah kisah nyata dan pertolongan Allah itu nyata adanya. Menarik pikir saya saat itu, saya ada sebuah kisah, semoga kisah itu juga dapat menginspirasi pembaca.
Tak menunggu lama, saya mengirimkan pesan pada mbak Aulia, menyampaikan bahwa saya berminat untuk bergabung pada proyek beliau. Sebetulnya hal ini bukan pertama kalinya saya bergabung dengan proyek menulis kisah nyata bersama beliau.
Proyek pertama adalah Unboxing Soulmate. Kisah tentang perlakuan tidak baik pasangan, sahabat atau saudara. Intinya adalah tindakan tidak baik orang yang dekat dengan penulis atau kisah nyata pengalaman orang lain yang dituliskan penulis.
Di Balik Layar
Untuk memudahkan koordinasi antar penulis, maka mbak Aulia membentuk sebuah grup WhatsApp. Beliau memberikan arahan dan panduan di sana.
Mbak Aulia juga memberikan sesi konsultasi terhadap naskah yang disusun. Hal ini sangat membantu, lo, tak terkecuali bagi saya. Saya memanfaatkan sesi konsultasi untuk mendiskusikan bagaimana saya menuangkan sebuah kisah ke dalam tulisan.
Setelah konsultasi, saya coba untuk menyusun ceritanya, yang merupakan cerita orang lain. Hal yang ingin saya tonjolkan adalah sesi tokoh Aku yang seolah-olah dia berbicara langsung dengan Allah. Dia benar-benar pasrah atas keputusanNya.
Beberapa masukan juga diberikan mbak Aulia, sehingga naskah saya yang biasa bisa menjadi nyaman untuk dibaca. Saya pun menjadi terenyuh saat membacanya kembali. Simak yuk kisah yang saya tulis dan diedit mbak Aulia.
Mbak Aulia juga memberikan kutipan-kutipan sesuai kisah yang ditulis oleh para penulis di setiap awal ceritanya. Simak resensi buku Di Batas Logika setelah ini ya.
Pertolongan Allah Itu Nyata Dalam Merengkuh Maaf
Berikut kisah yang saya tulis setelah mendapat arahan dari mbak Aulia. Cerita tersebut saya beri judul Merengkuh Maaf. Sebuah kisah nyata dari seorang sahabat yang mempunyai pengalaman mengalami konflik dengan ibi mertua.
Aku tak bisa menahan air mata yang mengalir deras setelah menunaikan ibadah salat Isya. Leher terasa tercekik dan mukena bagian depan sudah basah. Aku tak bisa berkata-kata lagi, tak berdaya di hadapanNya. Lama ku bersimpuh menengadahkan wajah dan tangan hingga akhirnya ku tertidur di atas sajadah.
Badanku terguncang dan kuterbangun karenanya. Samar kulihat wajah suamiku yang semakin lama semakin jelas, ternyata dia yang mengguncang tubuhku agar aku terbangun.
“Bangun Bund, pindah tidurnya ke tempat tidur. Nanti masuk angin kalau tidur di bawah seperti ini,” ujar suamiku mengingatkanku. Dia membantuku berdiri. Aku perlahan berdiri, badanku terasa kaku, mungkin karena aku tertidur dengan posisi yang tidak tepat.
“Ada apa? Habis menangis, ya? Matanya terlihat sembab. Mukenanya juga sedikit basah,” selidik suamiku yang membantu melipat mukena. Dia mengamatiku, tetapi aku berusaha menghindari tatapan matanya.
Ku terduduk di tepi pembaringan. “Ada apa?” tanya suamiku mengulang pertanyaan yang belum kujawab dari tadi. Dia pun duduk di sebelahku.
“Jika tidak bisa cerita sekarang, cerita nanti, istirahat dulu, sudah larut,” lanjutnya kemudian sambil mengelus kepala yang kuletakkan di bahunya. Aku merasa sangat letih hari ini, tetapi ada aliran rasa yang lain, aku merasa lega setelah menumpahkan segalanya dan mengadukannya pada pemilik kehidupan.
“Ayah sudah dari tadi datangnya? Maaf ya, Aku tidak mendengar Ayah datang,” ujarku.
“Enggak apa-apa. Tadi Rara yang membukakan pintu. Katanya, Bunda tadi sore nangis. Eyang, tidak keluar dari kamar, keluar hanya untuk makan saja. Mas Raka sudah tidur karena kecapekan futsal. Mas Akbar, baru pulang. Tadi Rara laporan ke Ayah seperti kereta api,” tutur suamiku tersenyum menceritakan tingkah Rara.
Rara putri bungsuku memang suka bercerita, saat Ayahnya pulang dia pasti menceritakan apa saja yang dilakukannya seharian dan apa yang terjadi di rumah selama Ayahnya tidak ada di rumah. Suamiku akan setia mendengar apa saja cerita Rara, karena kalau tidak menyimak cerita Rara, dia akan ngambek. Walaupun dia sudah kelas enam SD dia masih saja bersikap manja pada Ayahnya
“Tadi ada salah paham, Yah. Entah lah kenapa lidahku tadi siang, aku merasa tidak salah bicara, tetapi ibu marah-marah,” tuturku mulai bercerita. Kepalaku masih kuletakkan di bahunya yang nyaman untukku bersandar. Suamiku sabar mendengarkan aku menyelesaikan cerita.
“Ada enggak ya, kursus bicara dengan orangtua, supaya enggak ada lagi salah paham seperti ini. Capek, lo, Yah,” lanjutku. Suamiku memegang daguku dan mengamatiku dengan wajah penuh tanya.
“Kenapa ini, Aku semakin bingung Bund. Apa hubungannya kursus bicara sama salah paham dengan Ibu? Aku berterimakasih, Bunda sudah mau menerima ibuku dan menganggapnya seperti ibu Bunda sendiri. Ibu semakin hari memang semakin sensitif, mudah sekali marah. Tadi siang ada salah bicara apalagi?” tanya suamiku.
Ibu mertuaku beberapa bulan ini tinggal bersama kami. Sebelumnya ibu tinggal sendiri di Wonosobo, rumah mertuaku. Bapak mertua sudah lama meninggal, sedangkan anak-anak beliau merantau ke kota lain, bahkan ada yang di luar pulau dan luar negeri.
Namun, kondisi kesehatan ibu dan usianya yang semakin tua maka kami memutuskan untuk membawa ibu tinggal bersama kami, karena kami tidak dapat merawat beliau di Wonosobo. Awalnya ibu tinggal bersama adik ipar, karena adik ipar melahirkan anak kembar dan sedang masa pemulihan, sehingga aku mengusulkan pada suamiku untuk membawanya tinggal bersama kami.
Sebetulnya ibu mertuaku bukan tipe pemarah, tetapi beliau perfeksionis dan tidak mau disalahkan. Apapun dikomentari, jujur kadang aku juga capek. Mungkin pemilihan kata-kataku tadi siang kurang sesuai sehingga terjadi salah paham. Selama ini, aku memperlakukan ibu mertuaku seperti ibuku sendiri. Ibuku kerap mengingatkanku sebelum beliau meninggal agar aku memperlakukan ibu mertuaku layaknya aku memperlakukan ibuku.
Ibu langsung menegurnya, "Rara, pulang sekolah itu ganti baju dulu, baru duduk."
"Cuma duduk sebentar, Eyang. Rara capek, di luar panas sekali, ini juga mau ganti baju dan cuci kaki," jawab Rara spontan, cemberut dan berlalu begitu saja mengabaikan Eyangnya.
Sepertinya ibu tidak suka akan perlakuan Rara dan langsung menghampiriku. Hari ini aku sengaja mengambil cuti karena mengantar Ibu mengambil pensiun dan kontrol ke rumah sakit. Selain mengadukan Rara, ibu juga mengomentari Raka dan Akbar. Raka dengan kegiatan futsalnya, Akbar yang jarang ada di rumah. Awalnya aku yang berusaha menjawab dengan tenang, lama-lama agak emosi Namun, aku pun tetap menjawab keluhan ibu, satu per satu dengan tenang. Aku kurang nyaman ibu memberi label yang tidak baik terhadap anak-anak.
Tiba-tiba ibu marah dan berseru, “Aku mendidik anak-anakku juga begini dan semuanya sukses, termasuk suamimu, Rahmat! Kalau Ibu di sini hanya mengganggu kalian dan membuat kalian tidak nyaman, ya sudah. Aku kembali saja ke Wonosobo, besok Aku minta Rahmat mengantarku ke Wonosobo atau Aku pulang sendiri naik travel.” Ibu segera meninggalkanku dengan menangis sesenggukan.
Apa? Aku langsung menoleh ke arah Ibu dengan bergemuruh. Aku yang sedang menyiapkan makan siang, berhenti dan bingung. Mengapa ibu seperti itu? Apakah aku salah bicara, tanyaku dalam hati. Segera kuhampiri ibu ke kamarnya, tetapi pintu kamar terkunci. Kuketuk pelan pintu kamarnya dan meminta izin untuk masuk. Kusampaikan maafku, dari luar pintu, walaupun saat itu aku belum tahu salahku apa. Aku juga berusaha mengingat lagi kejadian barusan. Seingatku aku tidak membentak atau menghardik Ibu. Apa mungkin Aku tadi ada salah bertutur.
Cukup lama aku duduk di depan pintu kamar, menunggu ibu keluar dari kamarnya. Rara menghampiriku dan bertanya tentang apa yang terjadi. Aku hanya menyampaikan bahwa eyangnya sedang marah.
Hari sudah semakin siang dan ibu belum makan siang. Kusampaikan juga bahwa makanan sudah siap. Aku juga meminta Rara mengajak eyangnya untuk makan siang bersama. Setelah beberapa waktu, pintu kamar pun terbuka dan Ibu keluar dengan mata yang sembab. Kuhampiri ibu dan bersimpuh di kakinya, meminta maaf jika aku tidak sopan dan tutur kataku tidak berkenan di hati. Ibu hanya menjawab, “Iya.” Tidak ada kata-kata lain yang keluar dari bibirnya. Aku yakin ibu masih marah. Segera aku mempersilakan ibu untuk makan siang dan Rara menemaninya, sedangkan aku menuju kamarku untuk merenungi kejadian barusan.
“Bunda pasrah, Yah. Bunda sudah mengadukan semua ke Allah. Bunda tidak bermaksud tidak sopan. Bunda hanya ingin merawat ibu di masa tuanya. Semoga Ibu mau memaafkan Bunda, ya Yah,” lanjutku.
Suamiku mengangguk dan memelukku erat, “Ya sudah, yang penting Bunda sudah minta maaf. Besok pagi coba Ayah yang bicara pada Ibu, ya,” lanjut suami mantap.
Malam itu pun aku tidak dapat tidur nyenyak. Permasalahan ini sungguh berat bagiku, karena terkait hubungan dengan orang tua. Aku tidak mau menjadi menantu durhaka. Aku bersujud lagi di sepertiga malam, memohon ampun padaNya dan mengadukan semuanya lagi pada pemilik kehidupan serasa aku benar-benar bicara padaNya. Aku pasrah apapun yang terjadi, karena kutahu pasti Allah paham mana yang terbaik untuk umatnya. Hanya Engkau yang tahu isi hatiku Ya Allah.
Seperti biasanya, Aku menyiapkan sarapan dan makan siang untuk semua anggota keluarga. Ibu yang telah bangun membantuku dalam diam. Aku membiarkannya tidak mengajaknya bicasuamiungkin ibu masih tidak ingin bicara padaku. Saat bertemu suami, Ibu ngobrol seperti biasa, tidak menyinggung keinginannya untuk pulang ke Wonosobo.
Setelah Raka dan Akbar berangkat sekolah, giliran Aku, Rara dan suami menyusul berangkat bekerja dan mengantar Rara sekolah lebih dulu.
“Bu, saya minta maaf atas ketololan saya siang kemarin,” ujarku meminta maaf pada Ibu untuk kesekian kali.
Ibu hanya mengangguk dengan wajah datar. Suami yang melihatnya juga meminta maaf atas kesalahanku. Kemudian kami bertiga pamit berangkat. Tinggalah ibuku sendirian, menunggu Bu Asih yang membantuku membersihkan rumah, biasanya 3-4 jam dia ada di rumah kami untuk membersihkan rumah.
Sebetulnya aku khawatir ibu tiba-tiba pulang sendiri ke Wonosobo, tapi ku tepis semua pikiran itu. Sepulang kerja, aku bawakan getas, kue tradisional kegemaran ibu. Tampak ibu sedang duduk di ruang tengah melihat televisi bersama anak-anak. Tumben Akbar dan Raka ikut menonton televisi bersama, biasanya mereka asyik sendiri di kamar masing-masing. Mereka sedang asyik melihat acara kuis.
Wajah ibu sudah tidak tegang dan tampaknya sudah tidak marah. Akupun tidak ingin memperkeruh suasana. Kusajikan getas dan singkong keju dan meletakkannya di meja tengah. Setelah membersihkan diri aku pun ikut bergabung bersama mereka, sambil menunggu suamiku pulang kerja.
Apakah hubungan tokoh Aku dan ibu mertuanya berangsur membaik? Adakah cerita menarik dibalik itu? Bagaimana bentuk pertolongan Allah pada tokoh Aku?
Bukunya masih bisa dipesan, lo. Selain itu ada 17 kisah nyata pula terkait pertolongan Allah itu nyata yang dirangkai dengan apik oleh mbak Aulia dalam buku Di Batas Logika Dia Mendekatiku.
Selamat membaca.
Konflik dengan mertua itu kadang nggak bisa dihindari sih, ya. Meskipun kita sebenarnya sudah mencoba menghindari, huhuhu.
BalasHapusBtw, tulisannya keren bangey, Kak. Mengalir. Enak dibaca.
terima kasih kak Uta
Hapussaya suka dengan cerita seperti ini, cerita yang selalu mengkaitkan kehidupan sehari hari dengan Sang Pencipta, alurnya bisa sangat banyak dan bervariasi.. tulisan yang bagus..
BalasHapusHubungan mertua menantu ini manis-manis pahit. Dan ya realitanya memang siapa saja bisa salah, namanya juga manusia. Tapi yang membedakan adalah seorang yang berani menurunkan ego dengan minta maaf dan memaafkan. Salut sekali.
BalasHapus👍
Selamat atas penerbitan dan peluncuran bukunya. Kita sempat satu buku ya di Unboxing Soulmate. Saya suka dengan cara tokoh ini mengatasi konfliknya dengan mertua. Dia juga tetap sopan dan menghormati orangtua. Tak banyak orang seperti ini zaman now.
BalasHapusHubungan antar anggota keluarga memang rentan gesekan. Namun masih ada jalan keluar untuk mengatasinya. Mengadukan semuanya kepada Allah.
BalasHapusSelalu ada banyak bentuk pertolongan Allah dengan cara tak terduga
Ceritanya apik. Meramu konflik dengan sudut pandang tokoh aku yang pasrah.
Selamat ya mbaa semoga semakin banyak karya yang di hasilkan. Memang sama.orang tua harus hati2 yaa mereka kadang sensitif yaaks (gusti yeni)
BalasHapusSaya juga jadi ingat dengan ibu mertua (almh.). Saya menyesal pernah berbuat tidak baik dengan beliau. Seharusnya saya bersikap adil dengan orangtua kandung saya dan ibu mertua, tidak memihak salah satunya saja. Terima kasih sudah menghadirkan kisah ini kak.
BalasHapusSelamat atas penerbitan bukunya ya mba, suka deh dengan ceritanya, karena memberikan saya solusi bagaimana menghadapi mertua dengan baik dan tidak menyinggungnya secara lisan
BalasHapusceritanya seru nih, dan relate juga dengan kehidupan banyak suami istri yang mungkin masih tinggal bareng mertua, dan sering cekcok..
BalasHapustapi kita harus selalu ingat bahwa pertolongan Allah itu nyata
Salah satu "momok" dalam pernikahan adalah hubungan yang kurang baik dengan mertua, terlebih bagi perempuan kepada mertuanya. Pernah baca juga kalau tips menikah bagi wanita, adalah juga melihat kebiasaan mertua si calon dalam bersosial. Dari situ, pastinya ada sesuatu yang turun ke anaknya.
BalasHapusKisah inspiratif seperti ini perlu banget terpapar kepada khalayak, ya, kan, Mba. Apalagi cerita seperti hubungan dengan mertua ini. Banyak mutiara hikmah yang bisa diambil pembaca dari sekelumit kisah.
BalasHapusUrusan mertua menantu memang nggak ada habisnya ya mbak... Sabar sabar ya kan mbak.. Allah tempat utama mengadu, insya Allah semua akan baik baik saja..
BalasHapus