Dua hari ini Ica, panggilan akrab dari Clarissa, itu sakit. Demamnya belum turun juga, walaupun sudah mengkonsumsi obat penurun panas. Selain itu Ica juga tidak mau makan, salah satu penyebab tubuh Ica lemas. Beberapa cara dilakukan Sinta agar Ica mau makan. Hal ini akhirnya membuat Sinta panik dan memutuskan untuk segera membawanya ke dokter anak langganan.
Kebetulan siang hari itu ada sebuah meeting penting yang harus dihadirinya. Segera Sinta menghubungi timnya untuk membantunya menyiapkan meeting dan meminta izin terlambat kepada atasannya. Walaupun berat hati, izin itupun diperolehnya.
Gadis kecil berusia dua tahun itu pun hanya bisa terduduk lemas dan meringkih kesakitan di pangkuan ibunya. "Clarissa Putri Priambodo," panggil perawat klinik, dimana dokter anak langganannya praktek.
"Saya, Suster," jawab Sinta dan bergegas beranjak menghampiri perawat berbaju merah mudah, seragam di klinik tersebut.
"Silakan masuk, Bu," ujar perawat sambil menyerahkan kartu keterangan pasien dan menunjukkan arah ruangan dokter anak.
"Terima kasih," jawab Sinta, kemudian mengambil langkah cepat menuju ke arah ruangan yang ditunjukkan perawat tadi.
Sinta pun menyampaikan gejala dan kronologi sakit anaknya pada dokter Anggi, dokter anak langganannya. Serangkaian pemeriksaan dan pertanyaan pada Sinta dilakukan dokter Anggi untuk menentukan diagnosa sakit Ica.
"Ica radang tenggorokan, selain itu gusinya sedikit bengkak, sepertinya giginya mau tumbuh. Tenggorokannya sakit jika digunakan untuk menelan," tutur dokter Anggi.
Beberapa saran dan resep disampaikan dokter Anggi. Sinta yang semakin gelisah karena jam menunjukkan semakin siang, kurang konsentrasi mendengarkan penjelasan dokter.
Setelah mengucapkan terima kasih dan pamit pada dokter Anggi, Sinta bergegas berjalan menuju apotek yang berada di bagian depan klinik. Ica yang berada di gendongan tertidur karena lelah menangis.
"Mbak, ini resepnya, tolong cepat ya Mbak," pinta Sinta pada apoteker yang bertugas. Sinta semakin gelisah, karena hari beranjak siang.
Telepon genggam yang dari tadi dipegangnya berdering. "Sinta, meetingnya diundur besok siang," ujar pimpinannya.
"Kamu perbaiki presentasinya ya, besok pagi saya tunggu," lanjut suara di seberang sana.
Sinta pun menyanggupinya. Lega, hanya itu saja yang terlintas. Lega karena presentasi penting itu mundur besok siang. Presentasi yang disiapkannya seminggu terakhir ini.
“Ica, sayang, makan ya,” ajak Sinta, tetapi ajakan itu hanya dijawab gelengan kepala saja oleh Ica.
Berbagai macam rayuan dan cara dilakukan Sinta, agar Ica mau makan. Namun Ica malah menangis dan tangisannya semakin keras. Sinta pun mulai tidak sabar menghadapi Ica. Tiba-tiba plak, Sinta memukul Ica dan membentaknya. Tindakan yang tidak pernah dilakukannya selama ini. Tangis Ica pun semakin keras, karena kesakitan dan ketakutan. Sosok Sinta yang selama ini kalem, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang menakutkan dan tidak dikenali Ica, putrinya.
Sinta pun kaget atas tindakan yang tidak disadarinya beberapa detik sebelumnya. Sinta berdiri mematung, kebingungan mau melakukan apa. Tangisan Piring makan yang semula dipegangnya jatuh ke lantai dan membuyarkan ketegangan Sinta. Sinta berusaha memeluk Ica, “maafkan Bunda ya, Sayang.”
Sinta terduduk dan memeluk Ica, tangis Ica pun perlahan mereda. Tak sepatah kata pun yang keluar dari bibir Sinta lagi, hanya memeluk dan mengelus punggung Ica yang dilakukannya. Sinta pun berusaha menenangkan pikiran dan hatinya, begitu pula Ica yang berusaha mengendalikan ketakutannya, menyadari bahwa sosok yang memukulnya tadi bukan bundanya.
“Maafkan Bunda ya, Sayang. Bunda, lepas control tadi, sampai memukul Ica,” tutur Sinta masih menangis sesenggukan menyesali tindakannya.
“Bunda, enggak marah kok sama Ica, maaf ya, maaf ya, maaf ya,” permintaan maaf pun meluncur berulang-ulang dari bibir Sinta yang sangat menyesali perbuatannya.
“Bunda sayang Ica. Ica makan dulu ya, supaya ada tenaga, lalu minum obat, terus berdoa mohon kesembuhan pada Allah. Insyaallah Ica cepat sembuh. Nanti bisa main lagi sama Bunda, sama teman-teman Ica juga,” tutur Sinta.
Kelelahan tidak tidur beberapa hari untuk merawat Ica yang sakit dan pekerjaan kantor yang menumpuk, membuat Sinta kelelahan fisik dan batin. Sinta menyadarinya sekarang, dia mengabaikan tanda-tanda sebelumnya bahwa badan dan pikirannya pun perlu mendapatkan perhatian. Namun tanda-tanda itu diabaikannya, bahkan sampai dia lupa untuk makan.
Sinta menyadari bahwa tindakan mengabaikan kesehatan jiwa dan raganya salah, seharusnya dia tetap makan dan beristirahat walaupun sejenak, tidak perlu memakskan dirinya untuk bekerja terus menerus.
Kejadian siang tadi membuat Sinta merenung, ilmu parenting yang selama ini dipelajarinya menguap begitu saja saat dia kelelahan. Sinta pun bercerita pada suaminya tentang apa yang terjadi, tetapi Sinta belum menemukan solusi atas kejadian yang dialaminya. “Say (panggilan suaminya untuk Sinta) sudah lelah, wajar kalau kecapaian, lain kali info Abang ya kalau Say perlu dibantu,” ujar suami Sinta saat dia menyampaikan keluh kesahnya.
Walaupun kejadian tersebut sudah berlalu, Sinta tetap berusaha mencari solusi agar kejadian yang sama tidak terulang lagi. Sinta khawatir kejadian tersebut membekas bagi Ica dan membawa dampak buruk untuk masa depannya.
Sebuah informasi bahwa ada webinar tentang pengasuhan dengan tema bagaimana agar tetap sehat waras saat mengasuh anak diperolehnya dari sebuah grup whatsapp alumni SMA. Tidak perlu menunggu lama, Sinta menghubungi bagian pendaftaran. Walaupun diperlukan beberapa sesi untuk mengikuti webinar tersebut, dia rela meluangkan waktu demi kebaikan, pikirnya saat itu.
Pelatihan tersebut berisi bagaimana mengenal jenis emosi, bagaimana mengatasi emosi negative yang muncul, bagaimana menyiasati kelelahan yang dihadapi. “Ini yang kuperlukan, suamiku pasti mengizinkannya” batin Sinta.
Sinta pun menceritakan hasil mengikuti webinar pada suaminya, bahwa emosi negatif yang muncul harus diatasi agar tidak menjadi depresi. Manajemen waktu diperlukan untuk menentukan skala prioritas, tidak bisa semuanya dilakukan bersamaan, karena nantinya hanya lelah saja yang diperoleh.
Waktu untuk diri sendiri atau ‘Me Time’ juga diperlukan untuk menghilangkan penat. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan ‘Me Time’ tidak hanya untuk hal konsumtif tetapi juga produktif.
Dan ternyata Sinta tidak sendirian, banyak ibu yang mengalami kejadian seperti yang dialami Sinta. Tidak cukup dengan webinar yang telah diikuti, grup awal untuk mengkoordinasi berlangsungnya webinar berubah menjadi forum saling menguatkan antar sesama anggota.
Pengendalian emosi negatif diperlukan bagi siapa saja, terutama bagi ibu. Aktivitas mengurus rumah tangga yang melelahkan dan menguras emosi dan tenaga juga berpengaruh pada emosi ibu.
Memberi jeda antara aktivitas yang ada, menikmati waktu untuk diri sendiri merupakan salah satu cara untuk menjaga kestabilan emosi.