Sebuah surat elektronik dari komunitas perempuan yang saya ikuti beberapa tahun terakhir berisi ajakan untuk membuat antologi. Kisah wanita di era digital adalah tema yang akan disusung dalam antologi kali ini.
Proyek antologi kali ini, bukanlah proyek pertama Kelas Literasi Ibu Profesional atau yang akrab disebut KLIP. Komunitas menulis yang beranggotakan perempuan dari banyak daerah di Indonesia, termasuk beberapa perempuan yang sedang berada di luar Indonesia.
Tak menunggu lama saya pun memutuskan untuk bergabung dalam grup WAG yang disarankan. Bergabung bersama para penulis kece membuat saya sedikit minder, ah tapi kapan lagi saya bisa belajar bersama para mastah.
Dalam grup tersebut ada kak Rijo, penulis yang sudah melahirkan banyak buku solo. Kak Wika, yang dulunya adalah editor di ElexMedia, dan masih banyak lagi penulis kece badai. Bismillah mengosongkan gelas belajar bersama mereka.
Persiapan Menulis Antologi
Sebelum memulai menulis, kami dibekali dua kelas persiapan, yaitu Serba-Serbi Menulis Cerpen yang diampu kak Rijo Tobing dan kelas kedua tentang PUEBI yang diampu oleh kak Satwika H, yang akrab diapnggil kak Wika. Beberapa contoh diberikan selama pembekalan, termasuk cerita pendek karya kak Rijo, wah plot twistnya keren deh.
Mantap kan, sebelum menulis cerita dibekali dulu, sehingga penulis yang berkontribusi sudah mempunyai panduan. Selanjutnya naskah yang terkirim akan diedit oleh beliau berdua.
Naskahku
Naskah yang saya kirim berjudul "Arancini". Sebuah cerita sederhana, berdasarkan kehidupan sehari-hari. Naskah saya termasuk dalam salah satu cerita abtologi yang berjudul Maya Jangan Terputus Nyata Jangan Terserak. Berikut ceritanya :
“Ma, buatkan nasi kepal dong, please,” pinta Aya, anak bungsuku.
“Nasi kepal itu seperti apa ya, Dik?” tanyaku.
“Itu lo, Ma, yang bentuknya bulat-bulat seperti risoles,” lanjut Aya.
“Pernah dikasih Tante Lisa, sewaktu kita main ke rumahnya,” imbuh Aya, saat
melihatku berpikir keras, mencoba memahami permintaannya.
"Oke, Mama coba cari dulu resepnya ya," jawabku yang kemudian
disambut senyum ceria Aya.
"Terima kasih, Mama," ujarnya seraya mencium dan memelukku.
Aya, anak gadisku yang berusia tujuh tahun
suka mencoba makanan baru, baik makanan ringan atau menu utama. Apalagi jika
dia terlibat dalam proses memasaknya, semakin lahap dia menyantapnya. Hal ini
tentu saja berbeda dengan kakaknya, Bayu. Dia agak susah makan, agak pemilih,
kerap disebut picky eater, mirip bapaknya.
Unik ya, anak pertama mirip bapaknya,
tinggi kurus. Walaupun sebenarnya porsi makannya juga banyak, asal cocok
menunya. Sedangkan anak kedua mirip seperti aku, pemakan segala asal tidak
pedas.
Namun, keduanya sama-sama suka mencoba
menu baru. Tantangan buatku untuk selalu berkreasi menu harian. Untung saja di
era digital seperti ini, banyak aplikasi yang menyediakan resep masakan,
termasuk resep yang beredar di media sosial. Resep jitu bagiku yang kurang
kreatif, juru penyelamat saat aku mati gaya.
Dulunya masakan yang kusajikan hanya
itu-itu saja, tidak beralih dari sop,
ayam goreng setiap minggunya, menu lainnya beli di warung dekat rumah. Resep
masakan yang bisa kumasak tidak lebih dari hitungan sepuluh jari.
Ternyata urusan perut ini berpengaruh
banyak pada keluarga kami yang masih baru menapaki kehidupan rumah tangga,
sehingga mau tidak mau aku harus berubah. Belajar memasak dengan menu yang
bervariasi merupakan solusi. Saat itu targetnya hanya menyediakan menu untuk
seminggu saja. Kemudian berlanjut menjadi menu sepuluh hari.
Resepnya kuperoleh dari buku, belum banyak
media sosial yang menyediakan resep masakan seperti saat ini. Kadang satu resep
menu, ada beberapa cara memasak dan varian menunya. Tantangan lagi nih untuk
mencari resep yang sesuai dengan lidah keluarga kami.
Suamiku adalah konsumen setia sekaligus
komentator hasil masakanku. Aku tidak tersinggung jika dia memberi komentar
tentang hasil masakanku, toh semua yang kumasak pasti dilahapnya habis, apapun
hasilnya, entah gosong, kadang keasinan.
Kali ini putri bungsuku, Aya, memintaku
untuk membuat nasi kepal. Dia tahu jika aku tidak mungkin menolak
permintaannya. Baiklah demi memenuhi permintaannya, segera kuhubungi adikku,
Lisa untuk menanyakan resepnya. Tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan
nomer teleponnya di daftar nama telepon pintarku.
“Assalammu’alaikum, ada di mana?” tanyaku
membuka percakapan.
“Wa’alaikumsalam, sudah sampai rumah kok.
Ada apa, Kak?” Lisa balik bertanya.
“Syukurlah sudah sampai rumah. Mau tanya
resep nasi kepal. Aya ingin dibuatkan nih,” jawabku.
“Maaf kak, Aku enggak tahu resepnya.
Hehehe, sejak kapan Aku suka bebikinan kue atau kudapan. Kalau ingin makan
sesuatu, beli aja, kan saat ini banyak bakery. Kalau malas keluar ya tinggal
gerakkan jari aja, mencari pilihan yang tersedia di aplikasi daring, pilih,
bayar melalui transfer, duduk manis saja di rumah menunggu makanan datang,”
ujar adikku.
“Hmmm, kelakuan deh. Kukira kamu tahu,
enggak biasanya kamu membuat kudapan sendiri. Ternyata, beli di di bakery. Apa
sih nama makanan yang dimaksud Aya itu? Apa betul namanya nasi kepal? Nanti ku
coba cari deh resepnya,” lanjutku.
“Kalau di bakery dekat kantor sih namanya
Arancini, kata petugasnya itu makanan khas Italia. Kalau temanku bilang sih
nasi kepal. Rasanya yang gurih dan bagian luar crunchy, yang membuat Aya suka.
Dia pasti suka rasa gurih dan isinya, campuran sosis, keju, ayam dan jagung
manis,” tutur Lisa
“Iya juga sih, tahu aja kamu makanan
kesukaan Aya. Tapi kalau beli kan mahal, Sa. Bisa jebol kantong kakakmu ini.
Kalau buat sendiri, bisa lebih hemat,” ujarku mencari pembenaran untuk membuat
sendiri.
“Iya, tapi aku nyerah kalau diminta buat
sendiri, sering gagalnya, walaupun banyak resep yang beredar di sosial media.
Nanti kalau sudah jadi, kasih tahu ya, aku mampir deh ke rumah kakak,” ujarnya
dengan tertawa renyah khas Lisa.
“Jadi kalau ke sini, kalau
ada makanan aja?” sungutku.
“Hahaha, ya enggak la, Kak. Bercanda,”
ujarnya dan tertawa terbahak.
“Iya, ya paham la. Terima kasih ya, berselancar
dulu ke dunia maya mencari resepnya. Assalammu’alaikum” ujarku mengakhiri
percakapan.
“Wa’alaikumsalam” jawab Lisa.
Nama kami berdua, jika digabungkan jadi
Monalisa lho, nama lukisan populer di dunia, karya Leonardo Da Vinci, yang di pajang di
museum Louvre Paris sejak 1797. Namaku Mona dan adikku diberi nama Lisa.
Menurut almarhum ibu, supaya namanya mudah
diingat. Selain itu, semoga ibu atau anak keturunannya bisa ke Paris suatu saat
nanti, melihat lukisan Monalisa yang terkenal. Dan nama adalah doa. Menarik ya
cara beliau untuk mewujudkan cita-citanya.
Jemariku langsung berselancar menuju mesin
pencari untuk mencari menu yang diinginkan Aya di telepon pintarku. Kupikir
Lisa tahu resep Arancini, ternyata dia tidak tahu resepnya. Mesin pencari
merupakan salah satu penolongku untuk mencari tahu hal-hal yany tidak
kuketahui.
Kata kunci yang kugunakan adalah Arancini atau nasi kepal. Cukup cepat mesin pencari ini bekerja. Tak
berapa lama muncullah beberapa resep Arancini dari berbagai website dan blog
tentang resep makanan. Ada juga website yang mempunyai aplikasi dan dapat
diunduh melalui playstore.
Ternyata banyak variasi resepnya, dari mulai bahan
sederhana hingga bahan yang rumit. Begitu juga cara memasaknya yang tergantung
dari bahan yang digunakan. Setelah membaca beberapa resep dan mempertimbangkan
budgetnya, aku memilih dua resep yang akan kucoba.
Aku berencana membuatnya hari minggu,
sebagai hadiah setelah kami membersihkan rumah. Kegiatan rutin yang kami lakukan
setiap akhir bulan, yaitu membersihkan dan merapikan rumah, termasuk
membersihkan lemari es, mencabut rumput di halaman depan dan samping rumah,
karena rumah kami terletak di ujung jalan.
Kalau ini berhasil, nanti buat videonya
ah, untuk menambah content YouTube, pikirku.
Hobi yang akhir-akhir ini kulakukan adalah membuat content di YouTube atau Instagram tentang cara memasak atau
menyajikan hidangan yang lezat bagi keluarga. Walaupun di luar sana banyak
bertebaran resep sejenis, Aku tetap melakukannya dengan caraku sendiri. Terkait
rasa masakan, yang penting bagiku, suami dan anak-anak enak, sudah cukup,
karena aku tidak mungkin menyenangkan hati semua orang.
---
Sinar mentari menerobos
masuk melalui jendela dapur, pertanda matahari akan masuk ke peraduannya.
Hangatnya sinar matahari mulai menghangatkan punggungku yang membelakanginya.
Sudut favoritku di rumah memang selalu hangat saat menjelang senja. Sudut
tempat aku melepas lelah setelah memasak atau setelah
melakukan aktivitas lain. Aku menyukainya karena aku dapat melihat tanaman di
taman samping rumah dan mengamati orang yang lalu lalang. Pagar rumah yang
tidak terlalu tinggi dan agak renggang membuatku bebas mengamati jalan samping
rumah.
Dapurku terletak di
bagian belakang samping rumah, jendelanya yang lebar membuat sinar matahari
senja bebas masuk menghangatkan dapur. Ruang makan menyatu dengan dapur, hanya
dibatasi meja dapur. Suamiku juga menempatkan dua kursi tinggi di sana. Sinar
matahari menembus hingga ke ruang makan yang terdiri dari empat kursi dan meja
makan. Tidak terlalu besar, tetapi cukup menampung kami berempat untuk
menyantap hidangan yang disajikan.
Sore ini, kududuk sejenak melepas lelah setelah seharian
membersihkan rumah. Kebetulan suami sedang dinas luar kota sehingga hanya aku
dan anak-anak yang melakukannya. Kami membersihkan kamar masing-masing, merapikan
lemari pakaian. Aku membersihkan lemari pendingin dan dapur, anak-anak merapikan
rak buku. Bergantian kami membongkar sprei dan menggantinya dengan yang baru.
“Ma, capek, lapar juga,”
ujar Bayu saat memasuki dapur.
“Kamarku sudah bersih,
buku-buku juga sudah rapi, sampahnya juga sudah dibuang,” lanjutnya. Bayu, anak
sulungku yang sudah SMP masih mau dimintai tolong membantu mamanya.
“Aku juga lapar, Ma,”
tutur Aya, yang berjalan di belakang Bayu.
“Kamarku juga sudah
bersih, Ma” lanjut Aya.
“Keren deh anak-anak Mama,
terima kasih ya. Mama sudah buatkan camilan kok siang tadi, tinggal goreng
saja. Tunggu ya,” jawabku sambil mencium mereka satu per satu.
“Hmm, baunya kecut,”
tuturku sambil menutup hidung.
“Mandi dulu ya, sudah
sore juga,” lanjutku.
“Ok Ma, lanjut makan ya,
lapar, Ma,” jawab Aya dengan wajah memohon.
“Iya sayang, setelah Aya
mandi, camilannya sudah siap di meja makan,” lanjutku.
Mereka berdua pun segera
beranjak untuk mandi, membersihkan diri setelah beraktivitas seharian.
Tidak membutuhkan waktu
lama untuk menggoreng kudapan permintaan Aya beberapa waktu lalu, Arancini.
Kudapan yang mengenyangkan, karena terbuat dari nasi, keju, jagung dan wortel.
Semoga rasanya sesuai dengan permintaan Aya, batinku.
Kudapan yang ditemani
dengan susu coklat kesukaan anak-anak pas sebagai hadiah setelah mereka
merapikan kamar dan membantuku membersihkan rumah. Tak lama, aku pun menyusul
anak-anak untuk membersihkan diri.
---
“Terima kasih ya, Ma.
Rasanya mirip dengan nasi kepal yang disuguhkan tante Lisa,” ujar Aya.
“Gurih dan krispi, Ma”
imbuh Bayu.
“Aya suka isinya, Ma.
Ada keju, jagung dan wortel. Ada daging ayamnya juga ya, Ma?” tanya Aya.
“Susu coklatnya juga pas
nih, Ma,” lanjut Bayu.
Mereka berdua bersahutan
mengomentari kudapan dan minuman yang kusediakan.
“Lolos uji enggak nih?”
tanyaku pada mereka berdua.
“Kalau Aku, sih lolos,
Ma,” jawab Aya.
“Aku juga lolos kok,
Ma,” lanjut Bayu.
“Tinggal pendapat papa
yang belum, biasanya komentar papa detail” tutur Bayu.
“Kapan Papa pulang, Ma?”
tanya Aya.
“Kalau enggak salah
minggu depan, kemarin dan hari ini ada tamu dari kantor pusat yang berkunjung,
makanya Papa enggak jadi pulang hari ini,” jawabku.
Anak-anak sudah kangen
papanya yang sudah dua minggu bertugas untuk audit ke kantor cabang di
Kalimantan.
“Minggu depan kalau papa
pulang, Mama buat nasi kepal lagi dong,” pinta Bayu.
“Menurut kalian
bagaimana? Bosan enggak kalau buat lagi,” tanyaku balik.
“Enggak dong, enak kok,
Ma. Papa kan belum mencicipinya,” jawab Bayu.
“Kalau menurut papa ok,
berarti lanjut buat video ya, Ma?” tanya Aya.
“Iya seperti biasanya,
kalau kalian semua sudah cocok rasanya. Mama akan buat video kemudian unggah ke
YouTube,” jawabku.
“Nanti kalian bantu buat
videonya ya,” pintaku.
“Mama juga belajar hal
baru lagi untuk edit video agar hasilnya lebih bagus. Hasil belajar dari YouTube juga” lanjutku.
Tiba-tiba terdengar
suara mobil berhenti di depan rumah.
“Siapa itu?” tanyaku sambil
melongok ke arah pintu depan.
Tak lama mobil itu
berhenti di depan rumah, kemudian melaju kembali. Kami bertiga pun
mengabaikannya, karena kami pikir tetangga depan rumah.
“Assalamualaikum,”
terdengar suara papa memasuki ruang tamu.
“Papa,” teriak anak-anak
menyambut papanya.
“O, mobil yang berhenti tadi
ternyata mengantar Papa, kukira orang lain,” tutur Aya, memeluk papanya.
“Kok enggak minta
dijemput, Pa?” tanyaku.
“Kan ada ojek online,
Ma. Tinggal pilih mau menggunakan yang mana, pesan dan diantar sampai ke tempat
tujuan. Mama juga tidak capek jemput kan?” jawabnya singkat. Aku pun tersenyum
menanggapinya.
Seperti biasa, dia tidak mau merepotkan istrinya.
Ternyata kabar semalam yang menginformasikan bahwa dia baru pulang minggu
depan, hanya sandiwara. Dia ingin memberi kejutan padaku dan anak-anak, ujarku dalam hati.
Kukecup pipinya dan
memeluknya. Merindukan kehadirannya dua minggu ini. Walaupun sudah dimudahkan
dengan adanya teknologi sehingga kami
tetap dapat berkomunikasi melalui video
call ataupun telepon, tetap saja kumerindukan kehadirannya secara fisik.
ilustrasi arancini
Kesan
Konsep buku antologi ini keren banget, karena dilengkapi dengan teknologi Augmented Reality (AR) dan ada original soundtracknya. Judul lagunya "Cerita Kita", pas banget dengan isi cerita dalam kisahnya.
Bangga dan sekaligus senang bisa bekerja sama dengan penulis hebat. Proses penyusunannya pun meninggalkan banyak pengalaman bagi saya. Menjadi penulis tidak hanya menulis, sekaligus juga memasarkan bukunya. Jika bukan penulis yang memasarkannya, mau siapa lagi yang memasarkannya. Buku bagi penulis ibarat bayi yang dilahirkannya. Yuk, bangga dengan karya sendiri.